Kebijakan Menaikan DP, Solusi
atau Petaka ?
Media kembali digegerkan dengan terbitnya Surat Edaran Ekstern Nomor
14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank
yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor. Kebijakan ini mulai diberlakukan Pada tanggal 15 Maret
2012.
Bank Indonesia (BI) menyatakan
kenaikan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor
(KKB) dapat menimbulkan perlambatan kredit, khususnya kredit yang bersifat
konsumtif.
“Kemungkinan perlambatan itu ada.
Tapi bagaimanapun juga, BI terus mendorong pertumbuhan kredit. Yang sifatnya
agak konsumtif itu sedikit diperlambat,” ungkap Gubernur BI Darmin Nasution.
Ungkapan tersebut
menyatakan sekilas latar belakang mengapa BI menerbitkan surat edaran demikian.
BI menilai meningkatnya permintaan Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) harus diimbangi dengan peningkatan kehati-hatian
dalam penyaluran kredit tersebut. Peningkatan permintaan tersebut berpotensi untuk berbagai
Risiko bagi bank misalnya, munculnya permasalahan mengenai peningkatan harga
aset properti yang tidak sesuai dengan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat
meningkatkan risiko Kredit bagi bank-bank, khususnya bank yang memberikan
kredit kepada perusahaan-perusahaan peminjam modal kelas kakap dengan pemberian
kredit yang cukup tinggi oleh bank. Surat Edaran BI secara lengkap tersebut
dapat dilihat di sini.
Apakah kebijakan BI ini
dapat mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru?
Surat
Edaran BI tersebut memang banyak menuai pro dan kontra. Saya sebagai mahasiswa
memang terkadang resah dengan perkembangan kendaraan di kota metropolitan ini,
khususnya untuk kendaraan bermotor. Salah satu kebijakan BI ini juga bertujuan
untuk mengurangi tingkat pertumbuhan kendaraan yang berimbas pada kenaikan
impor kendaraan bermotor sehingga kenaikan impor tidak diimbangi dengan
peningkatan ekspor.
Namun
kebijakan ini juga memunculkan asumsi negatif yaitu fenomena yang terjadi
ketika adanya penundaan investasi pembangunan pabrik jika efek kebijakan itu
melemahkan bagi pasar otomotif nasional.
Bagaimana nasib tukang ojek dalam kenaikan tingkat DP ini?
BI
menyatakan “Motor yang digunakan untuk ojek merupakan kendaraan bermotor roda
dua sehingga aturan DP yang dikenakan untuk pembelian motor adalah sebesar 25%. Secara transparan BI menjelaskan sesuai dengan
ketentuan butir IV.C.1 SE ini”. Dapat
dilihat dilihat di sini. Hal
ini menyatakan tidak ada kompensasi yang diberikan BI pada rakyat menengah
kebawah, salah satunya tukang ojek ini. Sebelum SE BI ini diberlakukan untuk
membeli motor cukup dengan DP Rp 500.000 maka hanya menunggu kira-kira seminggu
maka motor sudah dapat di bawa, hal ini sangat dimanfaatkan bagi tukang ojek.
Namun setelah SE BI ini diberlakukan
maka membeli
motor dengan cara kredit tak semudah dulu lagi karena naiknya DP dan persyaratannnya diperketat untuk
mengurangi risiko kredit pada bank.
Kenaikan DP bagi perusahaan
pembiayaan mungkin berdampak baik karena dapat mengurangi masalah konsumen yang
bermasalah dalam pelunasan kredit. Namun terdapat pula dampak negatif yaitu
kemungkinan penurunan permintaan kredit oleh konsumen sehingga menyulitkan
dalam mencapai target konsumen.
Pada prinsipnya kenaikan
Dp akan semakin meningkatkan kehati-hatian sehingga perbankan menjadi lebih
terlindungi, namun masyarakat harus tetap di prioritaskan dalam menetapkan
berbagai kebijakan tersebut.
Kebijakan
ini memang menuai pro dan kon kontra, namun saya sebagai masyarakat berpendapat
jika kebijakan itu diberlakukan seharusnya ada kerjasama dengan pemerintah.
Misalnya, bagi tukang ojek sebagai masyarakat menengah ke bawah sebaiknya di
beri kompensasi atau di buka lapangan pekerjaan baru untuk mengurangi tingkat
kendaraan, khususnya di Ibu kota. Sebagai masyarakat kita memerlukan pelayanan
transportasi umum yang berkualitas sehingga hal itu dapat mengurangi tingkat
pertumbuhan kendaraan yang berlebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar