Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga. Negara
Indonesia memiliki prinsip semangat good
neighboorhood policy yang artinya semangat kebijakan negara bertetangga
yang baik dalam menyelesaikan masalah perbatasan wilayah. Hal ini menunjukkan
bahwa negara Indonesia mengedepankan jalan damai misalnya dengan melakukan
perundingan/negoisasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Meskipun perjanjian
tersebut sudah disepakati bersama, tetapi real-nya
sering terjadi sengketa akibat pengakuan sepihak mengenai suatu kepentingan
serta tidak displinnya suatu negara dalam menjalankan perjanjian.
Perjanjian
Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Selat Malaka dan sengketa
yang terjadi
Kesepakatan antara Indonesia
dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada “Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat
Malaka”. Isi perjanjian
tersebut sesuai ketentuan pasal 1 ayat 2
Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Jika ada selat yang
lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan
satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada
tengah selat.” Maka sesuai kesepakatan
bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas
kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November
1969.
Meskipun perjanjian bilateral
mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati, namun masih terjadi sengketa
antara kedua negara. Menurut Patroli
Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal
Malaysia yang sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu merupakan pelanggaran karena memasuki
wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya Indonesia secara ilegal. Namun
ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menangkap dua
kapal Malaysia lalu di tengah perjalanan muncul tiga helikopter Patroli
Malaysia yang mengahalangi penangkapan tersebut, padahal dua kapal tersebut
memang melakukan kesalahan. Pada akhirnya helikopter Malaysia itupun berhenti
menghalangi karena pertugas Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia
tidak memerdulikan tiga helokopter tersebut. Kasus ini menunjukan tidak
displinnya Malaysia dalam menaati perjanjian yang sudah disepakati dan
diperparah lagi dengan pembelaan Patroli Malaysia padahal kapal tersebut
jelas-jelas melanggar aturan.
Indonesia dan Malaysia
memang sudah menetapkan garis batas landas kontinen tahun 1969 sehingga sudah
adanya kejelasan dalam pembagian dasar laut dan kekayaan alam misalnya kekayaan
minyak, gas dll. Namun belum adanya kejelasan mengenai pembagian tubuh air dan
kekayaannya seperti ikan. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan Indonesia dan
Malaysia memiliki pengakuan masing-masing. Indonesia mengakui garis tengah
antara Indonesia dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Malaysia
mengakui secara sepihak bahwa batas landas kontinen itu merupakan sekaligus
garis batas ZEE, tentu Indonesia tidak setuju dengan pengakuan itu karena belum
diadakan kesepakatan mengenai batas ZEE antar kedua negara. Contoh sengketa
yang terjadi mengenai pengakuan atas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ,
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak adanya kesepakatan sehingga pengakuan
sepihak yang yang diakui negara
Indonesia belum tentu diakui negara
Malaysia dan sebaliknya karena standar untuk menentukan pengakuan tersebut
berbeda. Pengakuan masing-masing negara yang belum disepakati ini juga
mengakibatkan adanya kawasan wilayah yang diakui oleh kedua negara sehingga
jika salah satu negara memasuki kawasan ini akan di anggap sebagai pelanggaran
padahal belum adanya ketegasan yang memastikan hal itu pelanggaran atau tidak.
Maka sebaiknya dilakukan perundingan atau negoisasi secara damai supaya tidak
terjadi sengketa lebih lanjut.
Perjanjian
Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Ambalat beserta sengketa
yang terjadi
Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235 km2 milik
negara Indonesia, hal ini dapat dibuktikan pada Perjanjian yang di beri nama Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di
Kuala Lumpur. Isi perjanjian tersebut yaitu penetapan 25 titik yang terdiri
dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut
China Selatan dan melakukan pengesahan pada 7 November 1969.
Sengketa
Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena
keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya
untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat
peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah
negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa
dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui
peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan
penandatanganan kembali Persetujuan
Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.
Malaysia
kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun
1979 yang secara sepihak
membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke
dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena
melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan
Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau
Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah
Malaysia. Usaha-usaha Malaysia ini harus kita antisipasi dengan memperkuat
keamanan wilayah supaya tidak di rebut oleh negara Malaysia. Malaysia sering
melanggar perjanjian yang telah disepakati, bahkan pihak Indonesia mengakui
adanya 35 kali pelanggaran perbatasan yang dilakukan Malaysia.
Perjanjian
Republik Indonesia-Papua New Guinea (PNG) mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian
yang disepakati yaitu pada tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta, “Persetujuan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang
Batas-batas Maritim antara Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama
tentang Masalah-masalah yang bersangkutan” yang menghasilkan kesepakatan garis-garis
lurus lateral yang menghubungkan enam titik batas di depan pantai selatan pulau
Irian dan dua buah titik batas di depan pantai utara pulau Irian.
Sengketa yang terjadi
yaitu pihak Indonesia maupun PNG tidak menjalani perjanjian yang telah
disepakati yaitu dalam proses pembuatan penegasan pembatasan wilayah dari
perencanaan, pelaksanaan, dan penggambaran seharusnya dilakukan bersama-sama.
Tetapi kenyataan di lapangan tidak sesuai perjanjian, kedua pihak melakukan
proses pembuatan penegasan pembatasan masing-masing, meskipun hasil akhirnya
tetap harus mendapat tanda tangan oleh kedua negara. Desa Wara Smoll, Kabupaten
Bintang secara hukum merupakan wilayah NKRI namun ironisnya wilayah ini di
tempati, diolah, dan dimanfaatkan oleh warga PNG. Hal ini merupakan ancaman
yang harus segera diselesaikan oleh negara Indonesia karena kita tidak boleh
membiarkan potensi alam kita dimanfaatkan oleh negara lain. Persamaan budaya
dan ikatan kekeluargaan masyaraka yang tinggal di perbatasan menyebabkan
masyarakat cenderung mengutamakan hukum tradisional yang berlaku dibandingkan
hukum pada negara masing-masing. Masih adanya keraguan mengenai perbatasan yang
akurat sehingga mengakibatkan kesalahan misalnya salah menangkap nelayan asing
yang sebenarnya berada di kawasan yang tepat menurut negara bersangkut,
menimbulkan konflik mengenai pengakuan potensi minyak secara sepihak.
Perjanjian
bilateral Republik Indonesia-Timor Leste mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa
yang terjadi
Penerapan Provisional
Agreement (PA) merupakan perjanjian yang telah disepakati oleh RI dan Timor
Leste pada tahun 2005. Sengketa yang terjadi yaitu masih menyisanya 3% wilayah
yang belum disepakati dalam penegasan batas wilayahnya. Negara Timor Leste
ingin menyelesaikan sengketa ini dengan Treaty 1904, namun negara Indonesia
menginginkan diselesaikan menggunakan Penerapan Provisional Agreement (PA), khususnya pasal 6 yang isinya antara
lain agar dalam penegasan batas mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat
yang tinggal di sekitar perbatasan.umumnya masyarakat Timor Leste yang tinggal
di perbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, dan
memiliki hubungan erat secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia
yang khususnya tinggal di perbatasan. Hal ini harus diwaspadai karena
ditakutkan terjadi pengakuan budaya Indonesia oleh negara Timor Leste Negara
Indonesia juga harus secepatnya menyelesaikan sengketa mengenai keberadaan
pengungsi Timor Leste yang masih tinggal di wilayah Indonesia karena ditakutkan
akan terjadi sengketa yang rumit jika dibiarkan saja.
Perjanjian
Republik Indonesia-India mengenai
perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian ini
ditandatangani di New Delhi pada tanggal 14 Januari 1977, isi perjanjian ini yaitu Garis Batas Landas
Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik
pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Namun yang
menjadi sengketa yaitu belum dirundingkan garis batas ZEE antara negara
Indonesia dan India sehingga belum adanya peraturan tegas mengenai batas-batas
tersebut. Sengketa yang terjadi yaitu tidak displinnya para nelayan kedua
negara ini sehingga sering terjadi
pelanggaran perbatasan dikedua wilayah negara tersebut.
Perjanjian
Republik Indonesia-Thailand mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang
terjadi
Isi Perjanjian Indonesia
dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada
11 Desember 1973 yaitu adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke
arah Tenggara yang disepakati. Sengketa
ini karena perundingan yang dilakukan belum menemukan kesepakatan sehingga
tidak tegasnya perbatasan wilayah ZEE. Sengketa yang terjadi yaitu pelanggaran
perbatasan yang dilakukan oleh nelayan Thailand, para nelayan tersebut
menangkap ikan diperairan Indonesia sehingga merugikan negara Indonesia serta
menganggu keamanan perairan Indonesia
Perjanjian
Republik Indonesia-Singapura mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang
terjadi
Perjanjian
yang disepakati di Jakarta pada tanggal
25 Mei 1973 menjelaskan bahwa “Berdasarkan prinsip sama jarak antara dua pulau
yang berdekatan karena lebar laut antara kedua negara kurang dari 24 mil laut”. Sengketa yang terjadi karena Singapura ingin perluasan
wilayah perairan lautnya di sekitar Pedra Branca dengan melakukan pengakuan
sepihak zone ekonomi eksklusif (ZEE)
Singapura ke arah timur sampai ke Laut Cina Selatan (batas maritim RI dan Malaysia). Sengketa ini cukup rumit
karena wilayah tersebut melibatkan Singapura, Indonesia, Malaysia maka dalam
pengakuan sepihak oleh Singapura itu dibutuhkan perundingan dengan Malaysia
agar Singapura tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati.
Sengketa
mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang
dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan
pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai
sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih
parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan
sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau
Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas
laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.
Perjanjian
Republik Indonesia-Vietnam mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang
terjadi
Perjanjian penentuan garis batas landas kontinen
antara Indonesia dengan Vietnam yang terletak di Laut Cina Selatan, perjanjian
telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2003 di Hanoi Vietnam. Isi perjanjian
tersebut yaitu landas kontinen RI-Vietnam terdiri atas enam pasal yang antara
lain mengatur titik koordinat dan garis yang menghubungkan, perlunya kerja sama
dalam bentuk koordinasi kebijakan terkait, dan cara penyelesaian damai jika
terjadi perselisihan akibat
salah
penafsiran.
Perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam merupakan
hasil perundingan selama 26 tahun, hal ini diakibatkan karena persengketaan di
wilayah perbatasan yang diperikirakan banyak mengandung minyak dan mineral yang
besar. Sengketa terjadi di wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di
Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam, hal ini diakibatkan karena
perbedaan pemahaman mengenai kontinen tanpa batas benua di perbatasan tersebut.
Pada 12 November 1982, Vietnam secara sepihak ingin memasukan Quoc masuk ke
dalam wilayahnya tentu hal itu melanggar perjanjian yang telah disepakati. Namun
Yang menjadi persoalan yaitu garis batas ZEE yang belum menemui kesepakatan
dari kedua negara ini sehingga terjadi persengketaan ketika Vietnam secara
sepihak mengakui ZEE seluas 200 mil laut, dan ingin mengambil pulau-pulau yang
jaraknya sangat jauh dari titik pangkal yang mengakibatkan perbatasan ZEE
Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna terancam keutuhannya.
Perjanjian
Republik Indonesia-Philipina mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang
terjadi
Di
mulai dari tahun 1973, kedua negara sudah beberapa kali melakukan perundingan
mengenai batas laut di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, namun belum
menemui kesepakatan secara bilateral. Akhirnya, kesepakatan secara bilateral
ini mulai diusahakan dengan diadakannya forum RI-Philipina yaitu Joint Border
Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang
diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam masalah perbatasan kedua negara
tersebut.
Belum adanya perjanjian bilateral mengakibatkan sengketa
yaitu mengenai keberadaan P.Miangas yang menurut ”Treaty Of Paris 1898” wilayah
tersebut milik negara Philipina, sedangkan menurut ”Wawasan Nusantara” dan ”UNCLOS’82”
wilayah tersebut milik negara Indonesia. Setelah dilakukan perundingan akhirnya
negara Philipina mengakui P.Miangas sebagai milik Indonesia. Persoalan belum
selesai karena klaim laut disekeliling wilayah tersebut masih perlu dilakukan
perundingan untuk mendapatkan kesepakatan dan pengakuan bersama.
Perjanjian
Republik Indonesia-Australia mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang
terjadi
Papua
New Guinea merupakan daerah kekuasaan Australia sehingga untuk menentukan batas
wilayah RI-Papua New Guinea perlunya dibentuk perjanjian RI-Australia. perjanjian
ini mengenai kesepakatan “Dasar Laut Tertentu” tanggal 18 Mei 1971 di Camberra,
yang mencapai kesepakatan tentang titik-titik perbatasan kedua negara, lalu
diadakan kembali perundingan di Canberra dari tanggal 22-26 Januari 19973 untuk
menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan sebelumnya. Isi perjanjian
tesebut yaitu penyelesaian-penyelesaan atas masalah-masalah penetapan garis
batas darat di sebelah utara dan selatan Sungai Fly, penetapan garis batas laut
wilayah serta garis batas dasar laut di Selatan Irian.
Kerumitan perjanjian
Indonesia-Australia pada saat penetapan garis batas darat di belokan Sungai
Fly. Sengketa terjadi ketika secara sepihak Australia meyatakan bukti-bukti
nyata mengenai keberatannya atas pemakaian prinsip koordinat-koordinat dalam
menetapkan perbatasan sehingga Indonesia menyetujui usul Autralia mnggunakan
prinsip alur pelayaran Sungai Flu.
Perbatasan laut antara kedua
negara sangat luas yaitu krang lebig 2.100 mil laut dari selat Torres sampai P.Chrismas.
perjanjian perbatasan kedua negara cukup menarik karena telah disepakati
sebelum berlakunya UNCLOS ’82 maupun sesudahnya. Sengketa yang terjadi ketika
negara Timor Leste telah merdeka sehingga perjanjian sebelumnya harus ada yang
di ubah yaitu perjanjian Timor Gap Treaty
harus dibatalkan dan perlunya perundingan secara antara RI-Timor
Leste-Australia. Namun persoalan semakin rumit karena perbedaan pendapat dan kepentingan
antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor, sehingga
kesepakatan sulit terjalin.
Sengketa
Republik Indonesia-Republik Palau mengenai perbatasan wilayah
Palau
adalah negara kepulauan yang berada di sebelah timur laut NKRI, namun belum
diadakannya perjanjian secara bilateral mengenai perbatasan laut antara kedua
negara tersebut. Sengketa yang terjadi karena penarikan zona perikanan yang
dilakukan oleh Palau akan merugikan negara Indonesia karena mengambil bagian
ZEE Indonesia. Belum adanya kesepakatan mengenai batas perairan ZEE kedua
negara mengakibatkan kebingungan tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
nelayan kedua negara karena belum adanya kesepakatan untuk mengatur peraturan
yang jelas. Kedua negara memilki ambisi untuk mengambil keuntungan di perbatasan
wilayah ini karena terdapat banyak peninggalan benda-benda sejarah sebagai
asset penting.
·
Sumber :
Thankz atas upload materinya..
BalasHapusngebantu banget buat nyelesaiin tugasku..
maaf aku copas
iya sama" tapi jangan lupa , referensi yang di atas, dimasukin ya :D
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterimakasih kk, artikelnya sangat membantu ^_^
BalasHapus