Kamis, 12 April 2012

Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga


Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga. Negara Indonesia memiliki prinsip semangat good neighboorhood policy yang artinya semangat kebijakan negara bertetangga yang baik dalam menyelesaikan masalah perbatasan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia mengedepankan  jalan damai misalnya dengan melakukan perundingan/negoisasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Meskipun perjanjian tersebut sudah disepakati bersama, tetapi real-nya sering terjadi sengketa akibat pengakuan sepihak mengenai suatu kepentingan serta tidak displinnya suatu negara dalam menjalankan perjanjian.

Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Selat Malaka dan sengketa yang terjadi
Kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada  “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka”. Isi perjanjian tersebut sesuai  ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.” Maka  sesuai kesepakatan bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November 1969.
Meskipun perjanjian bilateral mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati, namun masih terjadi sengketa antara kedua negara. Menurut  Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal Malaysia yang sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu merupakan pelanggaran karena memasuki wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya Indonesia secara ilegal. Namun ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menangkap dua kapal Malaysia lalu di tengah perjalanan muncul tiga helikopter Patroli Malaysia yang mengahalangi penangkapan tersebut, padahal dua kapal tersebut memang melakukan kesalahan. Pada akhirnya helikopter Malaysia itupun berhenti menghalangi karena pertugas Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia tidak memerdulikan tiga helokopter tersebut. Kasus ini menunjukan tidak displinnya Malaysia dalam menaati perjanjian yang sudah disepakati dan diperparah lagi dengan pembelaan Patroli Malaysia padahal kapal tersebut jelas-jelas melanggar aturan.
Indonesia dan Malaysia memang sudah menetapkan garis batas landas kontinen tahun 1969 sehingga sudah adanya kejelasan dalam pembagian dasar laut dan kekayaan alam misalnya kekayaan minyak, gas dll. Namun belum adanya kejelasan mengenai pembagian tubuh air dan kekayaannya seperti ikan. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan Indonesia dan Malaysia memiliki pengakuan masing-masing. Indonesia mengakui garis tengah antara Indonesia dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Malaysia mengakui secara sepihak bahwa batas landas kontinen itu merupakan sekaligus garis batas ZEE, tentu Indonesia tidak setuju dengan pengakuan itu karena belum diadakan kesepakatan mengenai batas ZEE antar kedua negara. Contoh sengketa yang terjadi mengenai pengakuan atas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) , sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak adanya kesepakatan sehingga pengakuan sepihak yang  yang diakui negara Indonesia belum tentu  diakui negara Malaysia dan sebaliknya karena standar untuk menentukan pengakuan tersebut berbeda. Pengakuan masing-masing negara yang belum disepakati ini juga mengakibatkan adanya kawasan wilayah yang diakui oleh kedua negara sehingga jika salah satu negara memasuki kawasan ini akan di anggap sebagai pelanggaran padahal belum adanya ketegasan yang memastikan hal itu pelanggaran atau tidak. Maka sebaiknya dilakukan perundingan atau negoisasi secara damai supaya tidak terjadi sengketa lebih lanjut.

Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Ambalat beserta sengketa yang terjadi
            Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235 km2 milik negara Indonesia, hal ini dapat dibuktikan pada Perjanjian yang di beri nama Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur. Isi perjanjian tersebut yaitu penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan dan melakukan pengesahan pada 7 November 1969.
            Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.
            Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Usaha-usaha Malaysia ini harus kita antisipasi dengan memperkuat keamanan wilayah supaya tidak di rebut oleh negara Malaysia. Malaysia sering melanggar perjanjian yang telah disepakati, bahkan pihak Indonesia mengakui adanya 35 kali pelanggaran perbatasan yang dilakukan Malaysia.

Perjanjian Republik Indonesia-Papua New Guinea (PNG) mengenai perbatasan wilayah  beserta sengketa yang terjadi
            Perjanjian yang disepakati yaitu pada tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta, “Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-batas Maritim antara Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-masalah yang bersangkutan” yang menghasilkan kesepakatan garis-garis lurus lateral yang menghubungkan enam titik batas di depan pantai selatan pulau Irian dan dua buah titik batas di depan pantai utara pulau Irian.
Sengketa yang terjadi yaitu pihak Indonesia maupun PNG tidak menjalani perjanjian yang telah disepakati yaitu dalam proses pembuatan penegasan pembatasan wilayah dari perencanaan, pelaksanaan, dan penggambaran seharusnya dilakukan bersama-sama. Tetapi kenyataan di lapangan tidak sesuai perjanjian, kedua pihak melakukan proses pembuatan penegasan pembatasan masing-masing, meskipun hasil akhirnya tetap harus mendapat tanda tangan oleh kedua negara. Desa Wara Smoll, Kabupaten Bintang secara hukum merupakan wilayah NKRI namun ironisnya wilayah ini di tempati, diolah, dan dimanfaatkan oleh warga PNG. Hal ini merupakan ancaman yang harus segera diselesaikan oleh negara Indonesia karena kita tidak boleh membiarkan potensi alam kita dimanfaatkan oleh negara lain. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan masyaraka yang tinggal di perbatasan menyebabkan masyarakat cenderung mengutamakan hukum tradisional yang berlaku dibandingkan hukum pada negara masing-masing. Masih adanya keraguan mengenai perbatasan yang akurat sehingga mengakibatkan kesalahan misalnya salah menangkap nelayan asing yang sebenarnya berada di kawasan yang tepat menurut negara bersangkut, menimbulkan konflik mengenai pengakuan potensi minyak secara sepihak.
           
Perjanjian bilateral Republik Indonesia-Timor Leste mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
            Penerapan Provisional Agreement (PA) merupakan perjanjian yang telah disepakati oleh RI dan Timor Leste pada tahun 2005. Sengketa yang terjadi yaitu masih menyisanya 3% wilayah yang belum disepakati dalam penegasan batas wilayahnya. Negara Timor Leste ingin menyelesaikan sengketa ini dengan Treaty 1904, namun negara Indonesia menginginkan diselesaikan menggunakan Penerapan Provisional Agreement (PA), khususnya pasal 6 yang isinya antara lain agar dalam penegasan batas mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat yang tinggal di sekitar perbatasan.umumnya masyarakat Timor Leste yang tinggal di perbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, dan memiliki hubungan erat secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia yang khususnya tinggal di perbatasan. Hal ini harus diwaspadai karena ditakutkan terjadi pengakuan budaya Indonesia oleh negara Timor Leste Negara Indonesia juga harus secepatnya menyelesaikan sengketa mengenai keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih tinggal di wilayah Indonesia karena ditakutkan akan terjadi sengketa yang rumit jika dibiarkan saja.

Perjanjian  Republik Indonesia-India mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian ini ditandatangani di New Delhi pada tanggal 14 Januari 1977,  isi perjanjian ini yaitu Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Namun yang menjadi sengketa yaitu belum dirundingkan garis batas ZEE antara negara Indonesia dan India sehingga belum adanya peraturan tegas mengenai batas-batas tersebut. Sengketa yang terjadi yaitu tidak displinnya para nelayan kedua negara ini sehingga  sering terjadi pelanggaran perbatasan dikedua wilayah negara tersebut.

Perjanjian Republik Indonesia-Thailand mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Isi Perjanjian Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973 yaitu adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara yang disepakati.  Sengketa ini karena perundingan yang dilakukan belum menemukan kesepakatan sehingga tidak tegasnya perbatasan wilayah ZEE. Sengketa yang terjadi yaitu pelanggaran perbatasan yang dilakukan oleh nelayan Thailand, para nelayan tersebut menangkap ikan diperairan Indonesia sehingga merugikan negara Indonesia serta menganggu keamanan perairan Indonesia
                                   
Perjanjian Republik Indonesia-Singapura mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
            Perjanjian yang  disepakati di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 menjelaskan bahwa “Berdasarkan prinsip sama jarak antara dua pulau yang berdekatan karena lebar laut antara kedua negara kurang dari 24 mil laut”.  Sengketa yang terjadi karena Singapura ingin perluasan wilayah perairan lautnya di sekitar Pedra Branca dengan melakukan pengakuan sepihak  zone ekonomi eksklusif (ZEE) Singapura ke arah timur sampai ke Laut Cina Selatan (batas maritim RI  dan Malaysia). Sengketa ini cukup rumit karena wilayah tersebut melibatkan Singapura, Indonesia, Malaysia maka dalam pengakuan sepihak oleh Singapura itu dibutuhkan perundingan dengan Malaysia agar Singapura tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati.
            Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.

Perjanjian Republik Indonesia-Vietnam mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian penentuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam yang terletak di Laut Cina Selatan, perjanjian telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2003 di Hanoi Vietnam. Isi perjanjian tersebut yaitu landas kontinen RI-Vietnam terdiri atas enam pasal yang antara lain mengatur titik koordinat dan garis yang menghubungkan, perlunya kerja sama dalam bentuk koordinasi kebijakan terkait, dan cara penyelesaian damai jika terjadi perselisihan akibat
salah penafsiran.
Perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam merupakan hasil perundingan selama 26 tahun, hal ini diakibatkan karena persengketaan di wilayah perbatasan yang diperikirakan banyak mengandung minyak dan mineral yang besar. Sengketa terjadi di wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam, hal ini diakibatkan karena perbedaan pemahaman mengenai kontinen tanpa batas benua di perbatasan tersebut. Pada 12 November 1982, Vietnam secara sepihak ingin memasukan Quoc masuk ke dalam wilayahnya tentu hal itu melanggar perjanjian yang telah disepakati. Namun Yang menjadi persoalan yaitu garis batas ZEE yang belum menemui kesepakatan dari kedua negara ini sehingga terjadi persengketaan ketika Vietnam secara sepihak mengakui ZEE seluas 200 mil laut, dan ingin mengambil pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal yang mengakibatkan perbatasan ZEE Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna terancam keutuhannya.

Perjanjian Republik Indonesia-Philipina mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
                 Di mulai dari tahun 1973, kedua negara sudah beberapa kali melakukan perundingan mengenai batas laut di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, namun belum menemui kesepakatan secara bilateral. Akhirnya, kesepakatan secara bilateral ini mulai diusahakan dengan diadakannya forum RI-Philipina yaitu Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam masalah perbatasan kedua negara tersebut.
                 Belum adanya perjanjian bilateral mengakibatkan sengketa yaitu mengenai keberadaan P.Miangas yang menurut ”Treaty Of Paris 1898” wilayah tersebut milik negara Philipina, sedangkan menurut ”Wawasan Nusantara” dan ”UNCLOS’82” wilayah tersebut milik negara Indonesia. Setelah dilakukan perundingan akhirnya negara Philipina mengakui P.Miangas sebagai milik Indonesia. Persoalan belum selesai karena klaim laut disekeliling wilayah tersebut masih perlu dilakukan perundingan untuk mendapatkan kesepakatan dan pengakuan bersama.


Perjanjian Republik Indonesia-Australia mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
                 Papua New Guinea merupakan daerah kekuasaan Australia sehingga untuk menentukan batas wilayah RI-Papua New Guinea perlunya dibentuk perjanjian RI-Australia. perjanjian ini mengenai kesepakatan “Dasar Laut Tertentu” tanggal 18 Mei 1971 di Camberra, yang mencapai kesepakatan tentang titik-titik perbatasan kedua negara, lalu diadakan kembali perundingan di Canberra dari tanggal 22-26 Januari 19973 untuk menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan sebelumnya. Isi perjanjian tesebut yaitu penyelesaian-penyelesaan atas masalah-masalah penetapan garis batas darat di sebelah utara dan selatan Sungai Fly, penetapan garis batas laut wilayah serta garis batas dasar laut di Selatan Irian.
                 Kerumitan perjanjian Indonesia-Australia pada saat penetapan garis batas darat di belokan Sungai Fly. Sengketa terjadi ketika secara sepihak Australia meyatakan bukti-bukti nyata mengenai keberatannya atas pemakaian prinsip koordinat-koordinat dalam menetapkan perbatasan sehingga Indonesia menyetujui usul Autralia mnggunakan prinsip alur pelayaran Sungai Flu.
                 Perbatasan laut antara kedua negara sangat luas yaitu krang lebig 2.100 mil laut dari selat Torres sampai P.Chrismas. perjanjian perbatasan kedua negara cukup menarik karena telah disepakati sebelum berlakunya UNCLOS ’82 maupun sesudahnya. Sengketa yang terjadi ketika negara Timor Leste telah merdeka sehingga perjanjian sebelumnya harus ada yang di ubah yaitu perjanjian Timor Gap Treaty harus dibatalkan dan perlunya perundingan secara antara RI-Timor Leste-Australia. Namun persoalan semakin rumit karena perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor, sehingga kesepakatan sulit terjalin.




Sengketa Republik Indonesia-Republik Palau mengenai perbatasan wilayah
                  Palau adalah negara kepulauan yang berada di sebelah timur laut NKRI, namun belum diadakannya perjanjian secara bilateral mengenai perbatasan laut antara kedua negara tersebut. Sengketa yang terjadi karena penarikan zona perikanan yang dilakukan oleh Palau akan merugikan negara Indonesia karena mengambil bagian ZEE Indonesia. Belum adanya kesepakatan mengenai batas perairan ZEE kedua negara mengakibatkan kebingungan tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh nelayan kedua negara karena belum adanya kesepakatan untuk mengatur peraturan yang jelas. Kedua negara memilki ambisi untuk mengambil keuntungan di perbatasan wilayah ini karena terdapat banyak peninggalan benda-benda sejarah sebagai asset penting.

·         Sumber :





4 komentar:

  1. Thankz atas upload materinya..
    ngebantu banget buat nyelesaiin tugasku..
    maaf aku copas

    BalasHapus
  2. iya sama" tapi jangan lupa , referensi yang di atas, dimasukin ya :D

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. terimakasih kk, artikelnya sangat membantu ^_^

    BalasHapus